Perlukah Adiwiyata di Sekolah?

25 November 2020 at 02:49 (Tak Berkategori)

Masih segar dalam ingatan penulis yaitu Jumat, 5 Juni 2015, di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo memperingati hari Lingkungan Hidup Sedunia yang bertema “Mimpi dan Aksi Bersama untuk Keberlanjutan Bumi” . Dalam kesempatan itu pula, Presiden menyerahkan penghargaan kepada para tokoh lingkungan, LSM, dan lembaga pemerhati lingkungan. Di peringatan tersebut,beberapa sekolah dari seluruh Indonesia yang mempunyai perhatian lebih dalam bidang lingkungan, tidak ketinggalan beberapa sekolah di Provinsi Kalimantan Selatan, diundang dan mendapat penghargaan. Penghargaan terhadap sekolah yang peduli dan berwawasan lingkungan ini disebut Adiwiyata.
Sampai hari ini pro dan kontra tentang program Adiwiyata di sekolah masih mengemuka bahkan ada sekolah yang dengan tegas tidak mau menerapkan program Adiwiyata tersebut. Ada beberapa pertanyaan yang sekaligus permasalahan bagi sekolah yang belum atau tidak mau menerapkan program Adiwiyata. Pertanyaan tersebut adalah apa keuntungan sekolah mengikuti dan melaksanakan program Adiwiyata? Dana dari mana bila mengikuti dan melaksanakan program Adiwiwiyata di sekolah? Bukankah program Adiwiyata tersebut justru menambah beban pendidik?
Tiga pertanyaan di atas merupakan tiga pertanyaan yang esensial dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dan pertanyaan lain yang belum terungkap. Bagi penulis, untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, sebaiknya harus dimulai dari persepsi yang sama dulu tentang program Adiwiyata ini program siapa?
Program Adiwiyata ini dianggap sebagai program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) bukan program Kementerian Pendidikan Nasional. Anggapan ini mengakibatkan adanya persepsi bahwa program yang berkaitan dengan lingkungan yang tercantum dalam program Adiwiyata merupakan program kerja KLH. Dari persepsi yang salah ini, bagi sekolah yang tidak mengetahui akan tidak acuh terhadap program Adiwiyata. Padahal program Adiwiyata ini adalah program dua kementerian yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dua kementerian ini sudah menandatangani MoU sejak tahun 1996 dan pembaharuan MoU terakhir pada 1 Februari 2010. MoU ini merupakan pelaksanaan amanah UU No. 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan LH terutama pasal 65 ayat 2 bahwa salah satu hak masyarakat adalah mendapatkan pendidikan lingkungan hidup. Hal ini tentu merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang ramah lingkungan.
Program Adiwiyata adalah program jangka panjang, partisipasif, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan program Adiwiyata di sekolah perlu ada sosialisasi mengenai 5 W 1 H-nya Adiwiyata kepada seluruh warga sekolah. Kenyataan selama ini, program Adiwiyata sering tidak disosialisasikan dengan baik sehingga program yang sebenarnya baik akhirnya mendapat tanggapan dingin dari warga sekolah bahkan menolak dengan tegas. Selain itu, program ini juga terkadang dibumbui atau dibungkus dan ditumpangi untuk tujuan politis sehingga semakin skeptis penerimaan warga sekolah terhadap program ini. Fakta lain di lapangan, terkadang terlihat kurangnya koordinasi instansi-instansi terkait sehingga program antardinas kurang singkron dan berbenturan. Ketidaksinkronan ini juga berakibat pada pada legalitas mata pelajaran LH sebagai mulok dan apakah juga bila tidak mencapai KKM mata pelajaran LH ini dianggap sebagai NK dalam kenaikan kelas. Ini juga permasalahan yang sampai hari ini penulis juga belum mendapatkan informasi yang jelas.
Berpijak dari persamaan dua persepsi di atas, mari kita urai jawaban ketiga pertanyaan esensial di awal. Sampai hari ini bagi sekolah yang baru memulai program Adiwiyata −kira-kira sepakat dengan penulis− masih belum merasakan manfaat dan keuntungan apa-apa dari program Adiwiyata. Seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa program Adiwiyata ini merupakan program jangka panjang, partisipasif, dan berkesinambungan serta berkaitan dengan proses perubahan karakter dari tidak acuh terhadap lingkungan menjadi acuh kepada lingkungan sehingga manfaat dan keuntungan program ini bukan instan dan seketika dapat dirasakan. Apalagi program ini juga dicampuri dengan silang pendapat, pro dan kontra antarwarga sekolah tentang program ini sehingga kesan tidak ada manfaat dan keuntungan semakin kental. Namun, bagi sekolah yang sudah 3 – 4 tahun melaksanakan program ini dengan kompak dan konsisten, manfaat dan keuntungan baru mulai terasa. Penulis garis bawahi, baru mulai terasa.
Mengapa demikian? Dalam buku panduan Adiwiyata disebutkan bahwa Adiwiyata mempunyai pengertian sebagai tempat yang baik dan ideal dimana dapat diperoleh segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi dasar manusia menuju terciptanya kesejahteraan hidup kita dan menuju kepada cita-cita pembangunan berkelanjutan dan tujuan program Adiwiyata adalah mewujudkan warga sekolah yang bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui tata kelola sekolah yang baik untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Jadi, manfaat yang ingin dicapai dalam program Adiwiyata tidak hanya sekedar fisik, tetapi juga nonfisik (perilaku, karakter).
Secara fisik sekolah yang indah, nyaman, bersih, kondusif, dan sarana prasarana ramah lingkungan yang mendukung KBM merupakan target sekolah yang melaksanakan program Adiwiyata. Dari segi nonfisik, tujuan program Adiwiyata ini lebih mengarah kepada menanamkan perilaku dan karakter peserta didik agar peduli dan berwawasan lingkungan dalam setiap aktivitasnya
Capaian sarana fisik merupakan capaian yang akan dapat dilihat dengan kasat mata dan mudah apalagi bagi sekolah besar dan RKAS besar pula. Namun, mengubah karakter dari yang tidak acuh dan menjadi acuh atau peduli, bersih, berwawasan, dan berbudaya lingkungan ini perlu proses yang lama dan perubahan tersebut dapat dlihat dalam kurun waktu 2 – 3 tahun bahkan lebih. Itulah sebabnya proses pencapaian perubahan itu perlu melibatkan berbagai aspek dan lini di sekolah.
Perubahan karakter itulah yang merupakan manfaat dan keuntungan sesungguhnya dalam program Adiwiyata. Sikap individu seluruh warga sekolah untuk bersih, peduli, berwawasan, dan berbudaya lingkungan itulah tujuan akhirnya. Tentu, bagi sekolah yang sudah menerapkan program ini selama 3 – 4 tahun atau lebih indikator lingkungan yang bersih, indah, nyaman, mendukung KBM dan warga sekolah yang bersih, peduli, berwawasan, dan berbudaya lingkungan sudah terlihat. Yang pada hakikatnya, kita sudah memberikan bekal tongkat estafet kepada generasi muda yang peduli dan mencintai lingkungan untuk kesejahteraan umat manusia. Kepadanyalah kita menaruh harapan.
Keuntungan dan manfaat lain yang dapat kita rasakan adalah tertib administrasi. Komponen penilaian sekolah Adiwiyata ada dua yaitu dokumen dan sarana fisik sekolah. Dari segi dokumen, sekolah sejak dini harus terbiasa mendokumentasikan setiap aktivitas dan administrasinya. Setiap aktivitas atau kegiatan sekolah harus dimulai dengan perencanaan, keadministrasian, dan pelaksanaan (pelaksanaan harus didokumentasikan bisa dalam bentuk foto atau video), dan evaluasi. Semua tahapan kegiatan tersebut harus ada bukti fisiknya. Kegiatan mendokumentasikan ini sejalan dengan akreditasi sekolah. Dengan demikian, pelaksanaan program Adiwiyta ini juga mendukung program sekolah di bidang lain.
Pertanyaan kedua yang selalu menjadi kendala dan ini menjadi palang pintu utama, terutama sekolah baru, kecil, dan dana terbatas adalah dana. Tidak dipungkiri untuk memenuhi standar sarana prasarana sekolah sesuai Permen No. 24 Tahun 2007 memerlukan dana yang tidak sedikit apalagi sekolah Adiwiyata. Melihat program sarana prasarana sekolah Adiwiyata yang banyak sangat logis apabila sekolah akan mengatakan, boro-boro memikirkan Adiwiyata yang memerlukan dana besar untuk mendanai operasional sekolah saja sudah kembang-kempis. Pernyataan ini tidak salah. Memang sekolah baru dan kecil lebih mengutamakan biaya operasional, berjalannya KBM, dan gaji guru honor serta karyawan tidak tetap. Namun, kembali kepada tujuan dan prinsip Adiwiyata yaitu jangka panjang, partisipasif, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, grand desain, program kerja, dan rencana sekolah perlu secara bertahap memenuhi kriteria sekolah Adiwiyata serta perlu skala prioritas. Jangan sampai program Adiwiyata menjadi beban RKAS dan akhirnya program Adiwiyata yang disalahkan.
Perlu diingat bahwa program Adiwiyata sebenarnya sejalan dengan standar sarana prasarana (Permendiknas No 24 Tahun 2007), kriteria sekolah sehat, akreditasi, dan lain-lain sehingga suatu kewajaran bila secara bertahap pemenuhan sarana fisik dan nonfisik harus masuk perencanaan dan direalisasikan. Selain itu, prinsip partisipasif dalam program Adiwiyata perlu dijalankan sehingga mengurangi beban RKAS. Partisipasif ini dapat melibatkat warga sekolah, komite sekolah, dan pihak ketiga. Partisipasif inilah yang menjadi nilai tambah dalam kriteria penilaian sekolah Adiwiyata. Inilah siasat yang perlu dilakukan oleh pihak sekolah terutama sekolah baru, kecil, dan sekolah yang mengalami keterbatasan dana.
Dalam kriteria penilaian sarana prasarana sekolah adiwiyata ada dua standar capaian yaitu ketersediaan sarana prasarana pendukung yang ramah lingkungan dan peningkatan kualitas pengelolaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana yang ramah lingkungan. Standar yang pertama merupakan pemenuhan secara fisik di sekolah seperti air bersih, sampah (penyediaan tempat sampah terpisah, komposter), tinja, air limbah/drainase, ruang terbuka hijau, kebisingan/getaran/radiasi, pengomposan, pemanfaatan dan pengolahan air, hutan/taman/kebun sekolah, green house, toga, kolam ikan, biopori, sumur resapan, biogas, dan lain-lain. Penulis tidak menutup mata bahwa pemenuhan sarana fisik tersebut perlu biaya tidak sedikit, namun ada beberapa point dari pemenuhan sarana tersebut dapat dipenuhi dengan pemanfaatan limbah atau barang bekas, seperti pengadaan tempat sampah, dan apabila ini dapat dilakukan justru dapat menghemat anggaran dan nilai tambah. Selain itu, dalam rangka pengadaan sarana fisik tersebut pihak sekolah juga dapat bekerja sama dengan pihak ketiga seperti dinas terkait, perusahaan, masyarakat, dan sponsor. Standar yang kedua dalam sarana prasarana ini lebih ditekankan pada pemeliharaan sarana fisik yang dimiliki sekolah yang harus dilakukan oleh warga sekolah secara rutin. Hal ini bertujuan agar sarana fisik yang ada di sekolah terpelihara dan terhindar dari kerusakan sehingga mengurangi biaya perbaikan yang pada akhirnya menghemat anggaran.
Pertanyaan terakhir ini merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan tanggung jawab sebagai pendidik. Dalam aktivitas KBM, seorang pendidik, sesuai UU Nomor 20 tahun 2003 Sisdiknas, harus benar-benar profesional. Artinya, pendidik harus mampu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Dari pernyataan tersebut jelas, banyak kegiatan yang harus dilakukan oleh seorang pendidik mulai awal semester, sebelum mengajar,saat mengajar, setelah mengajar, menjelang akhir semester. Belum lagi pendidik yang mendapat tugas tambahan seperti wakil kepala sekolah atau wali kelas. Tentu tidak banyak waktu yang tersisa. Kesibukaan ini akan ditambah dengan program Adiwiyata yang harus dimasukkan dalam KBM. Apa kata dunia? Kapan istirahatnya? Menambah pekerjaan pendidik saja. Itulah pertanyaan dan pernyataan yang selalu mengemuka.
Namun, marilah kita cermati bersama apakah benar program Adiwiyata ini benar-benar menambah beban pendidik? Sepengetahuan penulis menyisipkan materi lingkungan hidup (LH) bukanlah barang baru dan sudah ada sebelum KTSP. Oleh karena itu, bukanlah hal yang menyulitkan pendidik apabila harus menyisipkan materi LH dalam RPP. Apalagi dalam Adiwiyata mensyaratkan minimal satu RPP yang disisipi materi LH. Demikian juga dengan soal evaluasi, hendaknya soal evaluasi dikaitkan dengan LH dan hal itu menurut hemat penulis bukanlah suatu beban tambahan bagi seorang pendidik karena hanya meyisipkan dan mengaitkan. Namun, penulis juga tidak memungkiri, ada tugas tambahan pada saat KBM yaitu mendokumentasikan saat proses KBM berlangsung sebagai lampiran bukti fisik dalam dokumen fisik. Tetapi, apabila kita pikirkan lebih bijak, kegiatan mendokumentasikan setiap aktivitas di era sekarang adalah suatu kewajiban. Oleh karena itulah, sebelum program Adiwiyata akan diterapkan di sekolah, kepala sekolah dan tim Adiwiyata sekolah sangat perlu menjelaskan, menginformasikan, dan menyakinkan warga sekolah terutama pendidik tentang manfaat, tujuan, dan tanggung jawab pendidik terhadap peserta didik berkaitan dengan lingkungan.
Dari uraian di atas, penulis simpulkan bahwa program Adiwiyata sangat relevan masuk institusi pendidikan yaitu sekolah karena melalui lembaga pendidikan dan tangan peserta didiklah kita dapat menanamkan rasa peduli dan cinta lingkungan sejak dini dan untuk masa datang. Kepiawaian para pendidiklah yang kiranya ujung paling depan untuk mengubah hal itu. Kendala dalam sebuah kegiatan atau program pasti ada, tetapi solusi tentu tetap ada. Saatnya kita menyadari bahwa melalui peserta didiklah kita menitipkan lingkungan dan bumi ini. Melalui pendidikanlah kita mencoba memulai mengubah kebiasaan peserta didik yang asalnya berperilaku tidak acuh pada lingkungan menjadi acuh/peduli dan mencintai lingkungan. melalui pendidiklah benih-benih kecintaan pada lingkungan ini kita tebarkan, kita semai yng pada akhirnya anak cucu kitalah yang benar-benar mendapatkan bumi yang indah, nyaman, dan sehat. Meminjam jargon orang yang mempunyi pengaruh besar di negeri ini; kalau tidak kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi.

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar